Jumat, 31 Mei 2013

Aldabra Sang Penyelamat Lingkungan



Kehadiran pendatang asing biasanya menimbulkan bencana. Namun kura-kura raksasa Aldabra justru dianggap sebagai penyelamat. Bukannya menimbulkan masalah di sebuah pulau kecil di Samudra Hindia, seperti yang biasanya dilakukan spesies asing, reptil itu membantu memperbaiki ekosistem alami kawasan tersebut.
Para ilmuwan lingkungan mengintroduksikan kura-kura raksasa, yang dapat mencapai berat 300 kilogram, ke Pulau Ile aux Aigrettes, lepas pantai Negara Kepulauan Mauritius. Pada 2009, 19 kura-kura raksasa dewasa menjadi penghuni baru pulau itu. Mereka menggantikan peran spesies kura-kura di pulau tersebut yang telah lama punah. Kura-kura raksasa dan kadal memakan buah pohon-pohon itu serta menyebarkan bijinya. Tanpa para pemakan buah di sekelilingnya, pohon tersebut tak lagi bisa tersebar ke seluruh pulau. Pohon muda hanya tumbuh tepat di bawah pohon-pohon dewasa.
Sebelum manusia pertama kali menginjakkan kaki di Ile aux Aigrettes, beragam kura-kura raksasa hidup di sana. Begitu pula kadal raksasa serta dodo, si burung yang tak bisa terbang. Menghilangnya satwa-satwa itu mempengaruhi kehidupan makhluk hidup lain di pulau tersebut, terutama pohon eboni, spesies asli Ile aux Aigrettes. Pohon pribumi itu terancam musnah karena dijadikan kayu bakar.
Di seluruh dunia, spesies invasif dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati di sebuah ekosistem sehingga gagasan menggantikan satwa yang telah punah dengan spesies asing sangat kontroversial. Namun beberapa negara telah mencoba menggantikan peran spesies yang telah punah dengan spesies baru yang masih memiliki kekerabatan dengan binatang yang digantikannya.
Keberadaan elang Peregrine Amerika Utara, misalnya, bisa dipulihkan dengan mengundang tujuh subspesies dari empat benua. Burung heron malam kuning berjambul diintroduksikan ke Bermuda untuk menggantikan burung heron yang telah musnah, dan mengendalikan ledakan populasi kepiting darat.
Peneliti konservasi Josh Donlan bahkan mengusulkan ide yang lebih ekstrem, yakni membangun kembali ekosistem Pleistosen Amerika Utara dengan mendatangkan mamalia besar Afrika, seperti kuda, unta, kura-kura, singa, gajah dan cheetah. Selain mengembalikan ekosistem di “rumah baru” mereka, spesies-spesies itu terlindung dari ancaman di daerah asalnya.
Menggantikan kura-kura raksasa yang sudah punah di sebuah pulau tak berpenghuni dengan kura-kura raksasa lain adalah prospek yang jauh lebih sederhana berdasarkan sejumlah alasan. Eksperimen ini dipimpin oleh Christine Griffiths, peneliti di University of Bristol, Inggris, bekerja sama dengan Mauritian Wildlife Foundation.
Pulau-pulau yang terisolasi kerap kekurangan predator. Itu berarti rantai makanan yang harus diperhatikan jauh lebih pendek. “Kura-kura raksasa juga mudah ditemukan dan dipindahkan bila mereka akhirnya menjadi masalah,” kata Griffiths.
Pada awalnya, para ilmuwan sempat khawatir pendatang raksasa bertubuh bongsor itu akan memakan habis tumbuh-tumbuhan asli pulau tersebut. Baru pada 2000, empat kura-kura Aldabra (Aldabrachelys gigantea) pertama diangkut ke pulau tersebut, disusul beberapa kura-kura tambahan. Mereka dipelihara dalam sebuah kandang terbuka, dan para peneliti melakukan survei apakah reptil itu mengancam tumbuhan alami pulau. Ketika hasil survei menunjukkan bahwa kura-kura itu tak menimbulkan masalah yang signifikan, 11 kura-kura memperoleh surat izin bebas menjelajahi habitat mereka yang baru pada akhir 2005.
Kini, buah-buah matang kembali berjatuhan di bawah pepohonan eboni, tapi benih-benihnya terlihat tumbuh rapat di daerah yang paling sering digunakan oleh para pendatang bertubuh besar itu. Griffiths dan ilmuwan lain menemukan bahwa biji yang telah melalui saluran pencernaan kura-kura besar tersebut bertunas lebih cepat dan subur daripada biji lainnya. Terungkap pula bahwa kura-kura Aldabra lebih banyak mengkonsumsi tanaman non-pribumi.
“Meski sejauh ini program reintroduksi itu tampak sukses, kami masih menunggu apakah benih eboni yang disebar oleh kura-kura Aldabra tumbuh menjadi pohon baru yang dapat bereproduksi,” kata Griffiths dalam jurnal Current Biology. “Proyek serupa kini dirintis di Pulau Round di Mauritius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar